Cerpen Langkah Kecil
Lantunan ayat suci Alquran terdengar syahdu, mengetuk pintu hati yang sedari tadi tertutup rapat, disusul kumandang adzan yang saling bertautan di ujung desa membuatku bergegas pergi ke rumah Allah SWT. Melaksanakan Sholat Subuh berjamaah membuatku merasakan nikmat yang tersendiri.
Hari ini, awal pekan di minggu pertama bulan pertama pula. Seperti biasa aku berangkat sekolah, sesaknya naik angkutan umum bagiku hal yang sudah biasa terjadi, lamanya menunggu angkutan umum menjadi makananku setiap hari. Namun, kujalani hari-hari itu dengan penuh harapan, kelak aku akan menjadi orang yang sukses.
”Nanti pulang sekolah jangan lupa ketemuan di pintu gerbang sekolah, titik.” Suaranya mengagetkanku tatkala aku menginjakkan kaki di Kelas XI IPA Keterampilan. Biasa, temanku tingkahnya memang seperti itu. Sebut saja namanya Teguh D’penzy. He…he… julukan yang kukira pantas untuknya.
“Ada apa Guh? Kayak nggak biasanya,” tanyaku tak mengerti tentang ucapan Teguh barusan.
“Alaaah… pokoknya datang aja! Ok!?” Dia pergi, seakan ada sejuta perintah ditimpakan ke atas kepalaku dari langit-langit kelas.
“Tet.. tet.. tet…!” Bel pulang sekolah berdentang cukup keras, bel yang dari dulu tak pernah berubah, suaranya nyaring sekali. Kutunggu Teguh persis di pintu gerbang, menahan rasa panas yang siang itu menjadi-jadi. Matahari seolah-olah tersenyum padaku, kilauan cahayanya membuat mataku berkedip cepat.
“Yuk nemuin Bu Lily!” Lagi-lagi Teguh datang dengan tiba-tiba.
“Kebiasaan!” sahutku sembari bertanya-tanya. Persis di depan aula, setelah lima menit aku dan Teguh menunggu, Bu Lily datang diikuti Raden, anak kelas X-1, kelas yang katanya favorit. Wah saking favoritnya sampai pada grogi kalau berkumpul bersama anak-anak X-1. Katanya sih anaknya pintar-pintar.
“Bagaimana anak-anakku? Siap tidak dengan roket airnya?”
Bu, Lily, guru Fisika yang satu ini punya ciri khas tersendiri, senyum saat bicara. Aku masih diam membisu, menatap setiap muka yang ada di sekitarku, menghembuskan napas panjang kala itu.
“Roket air?!” Rasanya belum terbayang bagaimana bentuk roket air itu. Maklum belum pernah lihat yang senyatanya. Setelah Bu Lily memberikan penjelasan dan pengarahan, aku sedikit paham apa yang disebut roket air. Bimbingan pertamaku berakhir, baru kali pertama di MAN 2 Banjarnegara aku ikut lomba. Bangga juga rasanya, ucapku dalam hati.
*****
Angin bertiup kencang, seolah sedang berlarian dengan waktu yang semakin sore. Bimbingan kedua perlombaan roket air dimulai, kelihatannya hari ini ada yang beda. Ya, bukan aku, Teguh, atau Raden saja yang datang. Namun, ada satu temanku yang ikut serta. Sebut saja namanya Mahfud, teman sekekas, anaknya unik. Kenapa dikatakan unik? Aku tidak dapat menjelaskannya. Masih seperti hari pertama bimbingan, Bu Lily memperdalam penjelasannya dengan segudang teori mengenai roket air.
“Wah.. ilmu Fisikanya bangkit,” pikirku sesaat.
Pulpen yang sedari tadi kupegang, kugosok-gosokkan ke belakang kepalaku. Bukan aku saja yang menampakkan ekspresi kebingungan, Teguhpun sama, dia sibuk membolak-balikkan pulpen yang ada di tangannya. Sementara Raden masih saja sibuk membersihkan kaca matanya, dan Mahfud malah mencorat-caret kertas tanpa ada tujuan dia sedang menulis apa. Habis, teorinya banyak banget sih, jadi tidak paham-paham.
“Oke, anak-anak, besok jangan lupa bawa botol air mineralyang banyak! Kita mulai praktik,” Bu Lily memberi komando sekaligus mengakhiri bimbingan kali ini.
*****
Deburan debu terasa menambah kesesakan di mana-mana, polusi udara kian merajalela. Sepinya penanaman pohon di pinggir jalan serasa napas ini semakin tercekik. Matahari siang ini tidak menampakan bentuknya, hanya diam di tempat tanpa memancarkan sinar-sinar kehidupan. Kilatan petir seraya menjerit-jerit, mengumbar suaranya yang menggelegar. Bimbingan diawali dengan sambutan hujan yang cukup deras, dengan barang-barang bawaan kuinjakan kaki di tanah pertiwi ini dengan cepat, takut telat nantinya. Benar saja perasaanku “aku telat”. Tanpa menghiraukan apa yang akan terjadi, kuterjang hujan deras yang mengguyur MAN 2 Banjarnegara tercinta.
“Kemana saja kamu?!” seribu tanda Tanya ditampakan kepadaku oleh seorang Teguh.
“Maaf Guh, ada urusan mendadak,” jawabku singkat dan langsung ikut bergabung.
Satu per satu botol bekas dikeluarkan dari dalam tas kresek besar, ditata dengan rapi di depanku dan kawan-kawan.
“Terus langkah pertama bagaimana, Bu?” Mahfud menggeser tempat duduknya, memegang beberapa botol air mineral berukuran besar.
“Buka fotokopian yang sudah kalian pegang, perhatikan langkah-langkahapa saja yang ada di dalamnya!” tegas Bu Lily sembari menatap beberapa lembar fotokopian.
“Wah Bu! Alat-alat yang harus disiapkan banyak banget,” Teguh berceloteh sambil menggerak-gerakanjarinya di sekitar tulisan.
“Siapkan paralon untuk papan luncur, dua bekas botol air mineral, fiber, tish, dan lakban…” kubaca dengan keras alat-alat yang harus disiapkan.
“Weleh-weleh banyak juga ya?!” Raden yang sedari tadi diam kini unjuk suara.
*****
Bahan-bahan yang dibutuhkan sudah disiapkan namun ada saja kebingungan yang bermunculan. Dari pemotongan botol bekas air mineral hingga pembuatan model sayap, belum lagi menemukan bodi yang diinginkan, masih menggali kekreatifanku dan kawan-kawan.
“Kelihatannya sibuk nih?” suara Pak Irfan terdengar sayup-sayup, mungkin karena kita sedang fokus dan dibumbui bingung yang berlebih. Pak Irfan Afandi, staf tata usaha, orangnya ramah, simpel, namun ketika sedang bekerja beliau menciptakan kondisi yang serius.
“Kebetulan nih, Pak Irfan datang. Sudah ketemu belum pak videonya?” tanya Bu Lily lantas mempersilakan Pak Irfan duduk dan ikut bergabung dengan kesibukan ini.
Otak yang sedari tadi keriting kini mulai lurus kembali setelah melihat video yang baru saja diputar. Pak Irfan mulai beraksi, beliau memberikan inspirasi baru bagi kami.
”Ayo anak-anak, kita pasti bisa!” seruan Bu Lily juga membuat aku dan kawan-kawan termotivasi. Beliau senantiasa menemani kita bereksperimen dengan roket air. Pembuatan roket air pertama selesai. Dengan model badan dan sayap sederhana namun kami tetap bangga dengan penyelesaian ini.
“Meluncur ke udara sampai ke bulan dengan roket air, wah…” anganku kala itu muncul namun segera hilang ketika Teguh menyuruhku mengambil tasnya. Sementara Mahfud dan Raden masih asyik merangkai model roket yang lain, memodifikasinya dengan bentuk sayap yang lebih bagus.
Jarum jam menunjukkan pukul empat sore, ditemani dengan gemericikan air hujan yang belum juga reda. Pembuatan roket airpun selesai lebih awal. Bukan capek lagi namun rasa sendi pertulangan sakit semua, bagai diinjak robot raksasa. Super duper capek untuk bimbingan kali ini. Dakhri dengan doa kafaratul majlis, bimbingan usai dan akupun bergegas pulang sebelum ditinggal si angkutan umum. Maklum rumahku jauh dari sekolah, sehingga butuh waktu yang cukup lama untuk sampai di pelataran rumah. Ditambah lagi, aku masih harus berjalan kaki hingga beratus-ratus langkahan.
*****
Perlombaan roket air se-BARLINGMASCAKEBBOPAL (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Kebumen, Wonosobo, dan Pemalang) di Sanggaluri Park (Owabong, Purbalingga) hampir datang. Tidak kurang dari dua minggu, aku dan kawan-kawan akan bertarung membawa nama MAN 2 Banjarnegara ke Purbalingga. Namun, persiapan kita belum menemukan titik aman.
“Bimbingan hari ini harus lebih terarah!” ujar Bu Lily tatkala baru sampai di depan aula. Aku, Teguh, Mahfud dan Raden sudah menunggu beliau cukup lama.
“Kita pasti bisa!” kukepalkan tanganku dengan semangat.
“Setuju! Setuju! Setuju!” Teguh, Mahfud dan Raden menyahut ucapanku dengan serentak. Ketika Bu Lily hendak masuk ke aula, tiba-tiba Pak Irfan memanggilnya. Beliau tidak datang sendiri, di belakangnya ada Pak Heri, staf tata usaha yang juga suka bereksperimen dengan hal yang baru. “Memberi tantangan tersendiri,” ujar Pak Heri sembari tersenyum.
Berkumpul bersama orang-orang pintar, Bu Lily, Pak Irfan, dan Pak Heri, membuatku ikut hanyut dalam pikiran mereka. Didampingi dengan kawan-kawan yang juga begitu welcome terhadapku, serasa dunia ini penuh dengan ilmu. Dua roket yang sudah jadi kemarin siap diluncurkan. Untungnya cuaca hari ini sangat mendukung, mataharinya tersenyum, cahaya keemasan terpancar jelas menghiasi halaman sekolah MAN 2 Banjarnegara. Papan luncur sederhana kubawa dengan hati-hati dari dalam aula. Teguh yang sedari tadi tersenyum hanya membawa dua roket air, sementara Raden membawa pompa angin, dan Mahfud sibuk mengisi air di WC sekolah. Pak Heri dan Pak Irfan berbincang-bincang di bawah pohon ketapang persis di samping jendela kantor. Mereka kelihatanya serius banget dengan perlombaan roket air nanti. Kuacungi dua jempol untuk beliau-beliau.
“Jangan lupa roketnya diisi sepertiga air!” perintah Bu Lily tergesa-gesa. Akankah percobaan pertama berhasil? Mudah-mudahan berhasil, amiin!
“Wus.. wus.. wus.… “ angin dari dalam pompa keluar dan masuk lagi ke bagian belakang roket. Sebelum tekanan angin di dalam roket maksimal, roket air akan tetap diam di situ. Pengunci yang terbuat dari tish masih kokoh, napasku ngos-ngosan. Kupercepat gerakan tanganku sampai tenaga terakhir dan…. “Der…!” Roket air terbang menjauh, hingga melewati atap gedung MAN 2 Banjarnegara.
“E.. ayam.. ayam…” suara Raden tiba-tiba terdengar.
“Wah Raden latah…” celoteh Mahfud sembari tersenyum lebar.
“Hahahaaa…!” aku pun tertawa dan Teguh menyahutnya
“Hei, berhasil, hore…!” Rasa senang yang sebelumnya terpendam kini muncul bagaikan gunung berapi memuntahkan laharnya.
”Alhamdulillah…” Bu Lily mengucap rasa syukur kepada Allah SWT. Beliau bertepuk tangan untuk kita. Di ujung sana Pak Irfan dan Pak Heri mengacungkan jempolnya.
“Kita bisa, kita pasti bisa…!”
Aku, Teguh, Mahfud, dan Raden bernyanyi-nyanyi seolah sedang di atas panggung ketika sukses menggelar konser pertama. Namun aku bukanlah penyanyi, aku hanya seorang siswa yang ingin meraih prestasi.
Setelah percobaan pertama sukses, percobaan kedua, ketiga, dan seterusnya pun sukses. Hasilnya tidak mengecewakan. Berakhirnya bimbingan kali ini ditutup dengan suksesnya menerbangkan roket air di lapangan Desa Wangon, yanmg terletak di dekat sekolah.
Dinginnya malam kian mencengkeram, menyelimuti di setiap pori-pori kulit. Kuucap rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan berlimpah nikmat kepadaku. Segudang tugas dari sekolah akan menghampiriku di esok hari, kupejamkan mataku hingga aku terlelap tidur.
*****
Rabu siang di sekolah, aku bergegas ke aula menungggu datangnya kawan-kawan. Sembari memencet tombol handphone, kuusap keringat yang sempat menetes di pipi kiriku.
“Panasnya siang ini…” ucapku tak menghiraukan panggilan dari nomor tak di kenal.
“Hai…!?” Mahfud melambai-lambaikan tangan dari sebelah ruang laboratorium. Raut mukanya menggambarkan keceriaannya yang teramat.
“Tumben telat? Biasanya paling cepat!” sahutku tersenyum menunjukkan lesung pipi yang sudah lama tak kelihatan. Duduk di teras aula, aku dan Mahfud bercakap-cakap soal roket air.
“Eh, Pak Irfan dan Pak Heri sudah ada di dalam, kita masuk yuk!” ajakku sambil menarik tangan Mahfud. Raden dan Teguh terlihat sedang berlarian mendekat. Seakan-akan ada perampokan dan mereka yang dituduh melakukannya.
Hari ini Bu Lily sedang ke Purbalingga, mengadakan teechnical meeting bersama peserta dari kabupaten lain. Pak Irfan dan Pak Heri masih saja sibuk merancang papan lucur yang dinamis. Menurut teori fisika yang aku baca kemarin, daya jangkau roket air meluncur jauh haus menggunakan botol yang bersoda.
Waktu bergulir begitu cepat, kabut yang sedari tadi kasat mata kini menebal, membuat gumpalan awan hitam. Terlihat seperti ada yang menyetir di atas sana.
“Aku ingin kita menang!” teriakku keras memecah keheningan sore itu, membuat teguh dan Mahfud ikut menoleh dan menatapku. Dari kejauhan Bu Lily datang, beliau bergegas menemui kita.
“Waduh, ternyata eh ternyata, kriteria roket air berubah…!” dengan logat Banjarnegara Bu Lily menjelaskan hasil rapat tadi. Bagaikan terkena aliran listrik ribuan watt, aku, Teguh, Mahfud, dan Raden terkejut. Kutundukan kepalaku, seperti ada setitik kebahagiaan yang hilang tatkala itu, begitu juga dengan kawan-kawanku.
“Ayo anak-anak, kita tunjukkan kreativitas kita!” kata-kata Pak Irfan sedikit memotivasi kami kembali.
“Jangan menyerah dulu sebelum kita mencobanya!” Pak Heri ikut mengangkat kepecayaan diri kita.
”Oke anak-anak, sekarang kita buat roket air yang menggunakan nepple di bawahnya!” perintah Bu Lily, seakan memompa kembali semangat kita.
*****
Dari beberapa percobaan, penerbangan roket air yang menggunakan nepple dan yang tidak menggunakan nepple jauh berbeda. Jangkauan roket yang menggunakan nepple jauh di bawah roket yang tidak menggunakan nepple. Hal itu menjadi masalah terbesar menurutku tapi pasti ada solusi dari semua ini.
Angin bertiup kencang, menerbangkan beberapa daun kering di tepian jalan raya. Sengaja aku berangkat sekolah lebih awal. Kukira aku yang lebih dulu datang ke sekolah, ternyata Teguh, Mahfud, dan Raden sudah ada di sana saat aku memasuki pelataran aula.
“Hai, semua…!” sapaku singkat, tanpa menghiraukan jawaban dari mereka aku ikut duduk di antara Mahfud dan Raden.
“Pak Irfan dan Pak Heri sudah menemukan solusinya!” tutur Bu Lily tersenyum. Matanya berbinar-binar, memancarkan harapan baru untuk aku dan kawan-kawan.
“Benarkah Bu?” aku memastikan kebenaran itu. Bu Lily menganggukan kepala. Teguh, Mahfud, dan Raden bertepuk tangan layaknya orang yang menerima kabar gembira. Pak Irfan dan Pak Heri menjelaskan tentang temuan mereka. Mudah dan simpel, hanya memodifikasi nepple yang diberi embel-embel paralon kecil. Dan setelah dicobapun, hasilnya tidak mengecewakan. Layak ditampilkan dalam perlombaan besok di Purbalingga. Hari ini difokuskan untuk membuat desain roketnya karena selain jangkauan, keunikan roketpun tetap dinilai.
*****
Hari yang kutunggupun tiba. Ketika matahari muncul dari ufuk barat, sudah sedari tadi aku menunggu Teguh, Mahfud, dan Raden datang. Ditemani dengan sebuah tas besar yang kuletakan di punggung, aku duduk di teras sekolah. Selang beberapa menit mereka datang dan kamipun berangkat menuju medan tempur. Sekitar pukul sembilan pagi, kuinjakan kaki di Taman Reptil Purbalingga. Menungggu saat-saat pertandingan dengan mencoba beberapa roket hasil buatan kami kemarin. Perlombaan dimulai, satu per satu roket diluncurkan dari papan luncur yang sudah disediakan panitia. Kadang aku tersenyum sendiri ketika melihat beberapa roket hanya jatuh di depan si pemompa.
Beberapa saat setelah perlombaan selesai, sampailah pada pengumuman hasil lomba. Detik itu juga pemenang diumumkan. Dan…
“Pemenang ketiga perlombaan roket air se-BARLINGMASCAKEBBOPAL direbut oleh MAN 2 Banjarnegara dengan jarak tempuh 86,5 meter…” suara panitia terdengar jelas.
“Horeee…!. MAN 2 Idolaku…” teriak kami bersama. Bu Lily, Pak Irfan, dan Pak Heri tersenyum dan tak lupa memberi selamat kepada kami. Hanya MAN 2 Banarnegara yang mengirim peserta di perlombaan kali ini dari Banjarnegara. Bangga sekali rasanya
“Kami persembahkan kemenangan ini untuk MAN 2 Banjarnegara…!”
Keberhasilan itu butuh upaya, jadi upayakan keberhasilan itu. Akan kukenang pengalaman ini hingga aku tak bisa mengenangnya lagi…
*****
Belum ada Komentar untuk "Cerpen Langkah Kecil"
Posting Komentar
Link mati segera hubungi admin
Link aktif di komentar langsung di hapus
Blogger yang baik tidak melakukan copy paste sembarangan
Blog ini sepenuhnya di lindungi oleh DMCA